Rabu, 29 Juli 2015

Mengenal Gongseng


Apa yang ada di benak Anda saat seseorang mengucapkan kata “gongseng”? Mungkin ada di antara Anda yang belum pernah mendengarnya, atau ada sebagian dari Anda yang mengira itu sejenis olahan daging kambing, sebangsa tongseng. Edisi kali ini, blog sanggar Edi Peni Pacitan akan sedikit membahas tentang gongseng.

Jika Anda gemar bahasa atau bahkan ahli bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan tempat rujukan ketika Anda menemui kata-kata dalam bahasa Indonesia yang belum diketahui artinya. Dalam KKBI online, kata gongseng diartikan sebagai sangrai, maka jika gongseng berada dalam bentuk kata kerja menggongseng akan berarti menyangrai atau proses menggoreng tanpa minyak. Namun, bukan gongseng ini yang akan kita bahas.

Dalam dunia tari, gongseng adalah sebuah properti yang berupa seperti gelang kaki dengan dilengkapi genta-genta (lonceng-lonceng) yang berukuran kecil. Gongseng umumnya dipakai di kaki kanan. Gongseng identik dengan tarian-tarian dinamis dari daerah Jawa Timur, misalnya Tari Remo. Di luar negeri, India misalnya, gongseng juga dipakai dalam tarian-tarian dinamis. Dalam film Mohabbatein yang dibintangi Shakhrukh Khan menyertakan nyayian (yang tentunya diiringi oleh tarian) dengan menyambil tema bunyi gelang kaki yaitu lagu pairon mein bandhan hai.

Dalam tata busana, setiap detail busana maupun asesoris yang dipakai seorang penari akan memiliki fungsi dan citra masing-masing, demikian pula dengan gongseng. Gongseng berfungsi untuk mengatur dan mengikuti tempo pada iringan musik sesuai dengan gerak tari yang dilakukan. Penggunaanya adalah dengan menghentakkan tumit maupun gejug kaki kanan sehingga dapat menghasilkan suara ”cring cring”. Peranan penting gongseng akan berjalan sesuai fungsinya ketika pelaku gongseng (penari) mampu menjalankan, mengontrol dan menyesuaikannya dengan baik.


Cahyo Sandhidea menyampaikan bahwa bunyi yang tercipta dari genta pada gongseng merupakan konsekuensi peristiwa karena respon gerak. Bunyi genta menjadi perantara spiritual sebagai bentuk pengendalian dan kontrol diri menuju sebuah keharmonisan dinamika irama hidup yang hakiki.

Gongseng minangko pratandho mring janmo, sumbering suoro..

Kanggo sarono kasalarasan among rogo... [PK]

Selasa, 28 Juli 2015

Sanggar Edi Peni adalah Rumah



“Sanggar Edi Peni adalah rumah”, ungkapan inilah yang terlontar dari wanita cantik bernama lengkap Erna Widhyastuti saat ditanya tentang kesan kebersamaan dengan Sanggar Edi Peni Pacitan. Wanita yang akrab dipanggail Enga ini adalah salah satu penari andalan di Sanggar Edi Peni pada zamannya. Edisi hari ini, blog Sanggar Edi Peni Pacitan akan menghadirkan wawancara khusus bersama salah satu penari Merak Singlar, yuk simak!

Sanggar Edi Peni adalah Rumah
Kebersamaan adalah sebuah hal yang begitu indah, demikian pula yang dialami mbak Erna saat bersama Sanggar Edi Peni. Entah berapa banyak suka dan duka yang dialami, semuanya adalah bagian dari perjalanan, bagian dari kehidupan. Dan bagi wanita yang kini aktif mengajar di SMA Negeri 5 Balikpapan, Kalimantan Timur ini, Sanggar Edi Peni adalah bagian dari perjalanan hidupnya.

Mbak Erna bersama muridnya dengan kostum Dayak (dokumentasi pribadi mbak Erna)
Bergabung sejak berusia masih sangat beliau, sekitar umur lima tahun, saat mbak Erna masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK), banyak kebersamaan yang dia kecap di sanggar yang berlokasi di selatan balai desa Hadiluwih, kecamatan Ngadirojo, kabupaten Pacitan ini. “Kesan bersama sanggar Edi Peni sampai ke relung hati, dan saat ini pun saya masih merasa sebagai anggota sanggar, bukan alumni.”, kata wanita berjilbab kelahiran desa Hadiwarno ini.

Seakan mengenang ramainya saat latihan bersama, mbak Erna juga mengungkapkan kondisi sanggar Edi Peni kala itu. Belum adanya tempat khusus bagi sanggar menyebabkan latihan berpindah-pindah tempat, dan faktor ini justru menjadi tempaan untuk para anggota agar makin solid dan bakin berkembang.

Berlatih Memasak
Sanggar Edi Peni memang bukanlah lembaga kursus yang menawarkan bidang keahlian mengolah bahan mentah menjadi makanan siap hidang, namun ternyata di sanggar ini para angotanya juga belajar memasak. Mbak Erna menuturkan bahwa belajar memasak adalah bagian dari rutinitas di sanggar. Setelah lelah berlatih dan perut mulai keroncongan, maka anggota sanggar pun semangat menuju dapur untuk mengolah bahan-bahan yang ada menjadi santapan bersama.

Memasak memang bukan keahlian utama yang diajarkan di sanggar Edi Peni, hal ini adalah bumbu kebersamaan yang musti dibayarkan. Mbak Erna menuturkan bahwa kelas utama adalah pelajaran tari dan dunia pementasan. Bagaimana teknik dasar hingga teknik penyajian sebuah tari merupakan makanan utama saat itu. “Selain belajar tari, saya juga belajar menata busana, menata rias diri sendiri dan menata rias bagi orang lain.”, ungkapnya.

Banyak Foto yang Rusak
Dunia makin berkembang, termasuk modernisasi dalam bidang dokumentasi. Saat ini, hampir setiap handphone yang dimiliki setiap orang memiliki kemampuan untuk mengabadikan setiap kejadian, hal ini sangat berbeda dengan zaman dahulu, dimana foto adalah sebuah hal yang ‘mahal’. Hal ini juga dialami oleh mbak Erna, banyak foto kenangannya bersama sanggar Edi Peni rusak sebelum sempat didigitalisasi. Meski foto-foto kenangan tersebut rusak, kami yakin bahwa kenangan tersebut akan terus hidup.

Wanita Enerjik
Tak banyak penggambaran yang diberikan oleh Bapak Edi Suwito atas anak didiknya yang bernama Erna Widhyastuti ini. Beliau hanya memberikan beberapa kata yang paling terlintas saat namanya disebutkan. Lima hal yang disampaikan Bapak Edi Suwito tentang mbak Erna, (1) cantik, (2) supel, (3) enerjik, (4) mudah bergaul, dan (5) menyenangkan. Apakah Anda setuju? 

PON 2000
Entah sudah berapa banyak tarian dan pertunjukan yang dipentaskan oleh mbak Erna bersama sanggar Edi Peni.  Mbak Erna aktif menari bersama sanggar Edi Peni sekitar 20 tahun, sejak sanggar Edi Peni belum resmi berdiri. Bagaimana tidak, mbak Erna bergabung sekitar tahun 1989 dan terakhir menari bersama sanggar Edi Peni pada tahun 2009, di mana kala itu mbak Erna sedang menyelesaikan kuliahnya di Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri Malang.

Dalam kurun waktu 20 tahun ini, tari Merak Singlar merupakan tarian yang paling berkesan di hati wanita yang lahir pada 27 Oktober 1984. Tari Merak Singlar membawanya tampil dalam pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON) tahun 2000. Tari ini pula yang membawanya tampil di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.

Mbak Enga sedang menari Merak Singlar
Sanggar Edi Peni adalah Bagian Hidup
Sanggar Edi Peni hanyalah sanggar seni, di sini diajarkan bagaimana kesenian dapat membuat hidup menjadi lebih berarti. Setiap anggota berhak memilih, sekedar belajar seni, atau menyelaminya lebih dalam. Dan Mbak Erna memilih opsi kedua atas pertanyaan ini. Wanita yang juga tampil dalam sendratari “Jangkrik Genggong” ini menjadikan seni adalah bagian dari hidupnya, sama halnya dengan sanggar Edi Peni.

Selepas lulus dari SMA Negeri 1 Ngadirojo, mbak Erna melanjutkan studi di Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri Malang. Saat ini beliau aktif sebagai Guru Seni di SMA Negeri 5 Balikpapan. Meski jarak sudah membentang antara Lorok dengan Balikpapan, namun silaturahim antara keduanya masih terjalin. Saat ditanya tentang hubungan antara dirinya dengan sanggar saat ini pun mbak Erna dengan tegas menyatakan bahwa komunikasi masih terus dilakukan. Beliaupun masih menyebut pimpinan sanggar Edi Peni dengan panggilan khusus, Pak Ito dan Mama (masing-masing merupakan panggilan akrab dari anak-anak bagi Pak Edi Suwito dan Ibu Adi Peni).

Harumkan Nama Sanggar Edi Peni dengan Karyamu
Harumkan nama sanggar Edi Peni dengan karyamu”, demikianlah pesan yang disampaikan mbak Erna untuk anggota sanggar Edi Peni. Sebelumnya, mbak Erna juga berpesan kepada seluruh anggota sanggar agar jangan lelah untuk terus berlatih dan mengeksplorasi kemampuan, karena hal tersebutlah yang akan menjadi bekal kita di kemudian hari. [PK, seperti yang dituturkan narasumber]


Senin, 27 Juli 2015

Tari Merak Singlar



Tari Merak Singlar Sanggar Edi Peni Pacitan


Siji... loro... merak wulu ijo ho ho ho ho
Mabur sakjodho-sakjodho

Syair inilah yang dibuat Bapak M. Kasim untuk membuka tarian yang sangat populer di tanah Lorok, Pacitan pada tahun 1999-2000. Tarian yang diberi tajuk Tari Merak Singlar ini dikreasikan bersama oleh suami-istri Edi Suwito dan Adi Peni. Bapak M. Kasim didapuk sebagai penata musik untuk memberikan nyawa tarian lewat nada-nada yang beliau cipta, sedangkan ruh visual dibuat dengan tata gerak dan tata rias-busana.

Tari Merak Singlar diilhami dari ritual yang dilakukan merak saat akan bermadu kasih. Merak hijau dipilih untuk merepresentasikan species burung merak yang ada di Indonesia. Sebenarnya, selain merak hijau, dapat dijumpai species merak putih yang hidup di dataran Tiongkok.  Merak putih banyak pula dijadikan sebagai inspirasi penciptaan tari beraroma Mandarin.

Tari Merak Singlar Sanggar Edi Peni Pacitan

Tari Merak Singlar disajikan dengan gerakan ritmis yang gemulai. Keindahan tarian ini diganjar banyak pencapaian. Menjadi satu dari sepuluh penyaji terbaik dalam Festival Karya Tari Jawa Timur 1999, tari Merak Singlar didaulat menjadi salah satu sajian dalam Upacara Pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON) tahun 2000. Tari Merak Singlar ditampilkan bersama karya lain dari Kabupaten dan Kota di Jawa Timur.

Kesuksesan tampilan di Jawa Timur, tari Merak Singlar menuju Taman Mini Indonesia Indah (TMII) untuk mengisi acara di anjungan Jawa Timur. Di tanah asal, kabupaten Pacitan, tari Merak Singlar juga kerap tampil, baik indoor  maupun  outdoor stage. Salah satu penampilan apik tari Merak Singlar adalah kala launching tag line “Pacitan Kota 1001 Goa” di alun-alun Pacitan yang dihadiri oleh salah satu Menteri di jajaran kabinet kala itu.

Penari Merak Singlar Sanggar Edi Peni Pacitan setelah tampil di Pembukaan PON 2000
Tari Merak Singlar merupakan wujud kecintaan Sanggar Edi Peni Pacitan pada alam. Kecintaan ini melahirkan wujud syukur atas keindahan alam yang akhirnya menelurkan karya lewat gemulai tari. [PK]



Sabtu, 25 Juli 2015

Tarian dan Tuhan

Burung merak jantan (Sumber: Verses of Universe)

Tarian dan Tuhan adalah dua kata yang punya arti berbeda. Kata tarian dibentuk dari kata dasar tari yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai  gerakan badan (tangan dan sebagainya) yang berirama, biasanya diiringi bunyi-bunyian (musik, gamelan, dan sebagainya). Sedangkan Tuhan dalam KBBI didefinisikan sebagai sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya. Kedua kata ini memang mempunyai makna yang berbeda, lalu apa hubungan keduanya?

Tahukah Anda bahwa tarian adalah mahakarya Tuhan yang abadi?
Banyak tokoh dan ahli tari yang menyatakan makna dari tari adalah hasil ciptaan manusia yang merupakan ekspresi jiwa yang tertuang dalam gerakan. Hawkins (1990) menyatakan bahwa tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh imajinasi dan diberi bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis dan sebagai ungkapan si pencipta. Namun, sadarkah kita bahwa pencipta tarian sesungguhnya adalah Tuhan Yang Mahakuasa?

Mari kita lihat tarian-tarian tersohor yang pernah ada. Tarian tersebut sebenarnya merupakan pengejawantahan alam oleh para seniman. Nyiur yang melambai, ombak yang bergulung-gulung bahkan matahari yang terbenam dapat menjadi sumber inspirasi lahirnya sebuah tari. Maka, sebenarnya manusia, dalam hal ini adalah para seniman dan koreografer, hanya menata apa yang telah dicipta Tuhan ke dalam sebuah alur gerak dan menamainya dengan sebuah tajuk.

Salah satu tokoh besar tari di Indonesia, Bagong Kussudiardja, yang menciptakan banyak tarian juga terinspirasi dari alam. Mendiang ayah dari seniman Butet Kartaradjasa ini menelurkan banyak tarian, salah satunya tari merak. Selain beliau, tari merak banyak dieksplorasi oleh seniman-seniman nusantara  bahkan mancanegara. Jika kita menyempatkan diri untuk berselancar di dunia maya, maka kita akan banyak menemukan variasi tari merak dari berbagai belahan bumi. Hal ini menjadi bukti konkrit bahwa sebenarnya, Tuhan-lah yang menciptakan tarian, manusia hanya menata dan menyajikan ulang.

Burung Merak merupakan burung yang dianugerahi bulu yang indah. Dalam sistem pengelompokan makhluk hidup, burung ini dimasukkan dalam ordo Galliformes. Bulunya yang menawan dan panjang menjadi daya tarik yang istimewa. Selain pesona bulunya, merak secara alami juga diciptakan dengan kemampuan menari. Dalam studi Etologi, ilmu tentang perilaku makhluk hidup, merak memiliki ritual menari dalam proses perkawinannya. Merak jantan memiliki bulu ekor yang lebih panjang dan lebih indah daripada merak betina. Pada saat musim kawin, bulu ekor ini akan dimekarkan dengan gerakan-gerakan tertentu dengan tujuan agar si merak betina tertarik kepada si jantan. Makin indah bulu dan tariannya, makin besar kemungkinan si merak betina tertarik kepadanya.

Burung merak jantan sedang menari di depan merak betina (Sumber: Verses of Universe)

Tuhan memang menciptakan alam dan segala isinya penuh dengan pengetahuan. Manusia dituntut untuk mampu membaca tanda-tanda tersebut agar dapat menjadikannya lebih dekat dengan Tuhan Sang Pencipta. Semoga alam mengajari kita untuk bersyukur atas segala nikmat dari Tuhan. [PK]

Jumat, 24 Juli 2015

Sungkeman Plus-Plus

Sungkeman anggota Sanggar Edi Peni Pacitan

Jika sebelumnya sudah kita bahas tentang tradisi sungkeman dan urgensi sebuah proses latihan, maka kali ini kita akan membahas gabungan dari keduanya. Sungkeman plus plus, demikian kami memberikan istilah pada kegiatan ini. Sungkeman merupakan salah satu tradisi yang berkembang di masyarakat Jawa untuk memberikan penghormatan kepada suami, orang tua atau orang yang lebih tua. Sedangkan latihan adalah proses mengasah kemampuan akan suatu kegiatan. Lalu, bagaimana dengan “sungkeman plus plus”?

Sebuah provider seluler pernah memberikan promo bertajuk “poin plus-plus” yang meberikan bonus kepada para penggunanya. Sungkeman plus-pus juga demikian, kegiatan ini juga memberikan bonus kepada yang melakukan.

Sungkeman yang merupakan tradisi pada hari raya Idul Fitri dipadu dengan kegiatan latihan tari oleh anak-anak Sanggar Edi Peni Pacitan. Selain saling mendapatkan maaf satu sama lain, bonus yang didapatkan adalah badan segar setelah latihan. Sudah barang tentu, cemal-cemil juga menjadi pelengkap acara sungkeman plus-plus ini.

Latihan setelah sungkeman Sanggar Edi Peni Pacitan
Ibarat peribahasa “Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui”, kegiatan inilah yang telah terlaksana pada Rabu (22/7/2015) malam di Sanggar Edi Peni, selatan balai desa Hadiluwih, kecamatan Ngadirojo, kabupaten Pacitan. Para penari datang bergerombol untuk melaksanakan tradisi sungkeman, kemudian dilanjut dengan proses latihan. Latihan dilakukan untuk refresh setelah sekian waktu off serta sebagai ajang persiapan pentas pada 28 Juli 2015 mendatang. [PK/Foto: RAB]

Rabu, 22 Juli 2015

Urgensi Sebuah Latihan

Penari Sanggar Edi Peni sedang berlatih tari untuk pementasan di Desa Cokrokembang

Bulan Ramadhan 1436 H telah berlalu, begitu pula dengan hari raya Idul Fitri 1436 H tinggal menyisakan cerita dan kenangan indah. Pada bulan Ramadhan, umat muslim mencurahkan perhatiannya untuk beribadah kepada Allah SWT, dan di hari raya Idul Fitri, umat muslim saling berkunjung, saling memaafkan dan makin merekatkan dan mempermanis ikatan persaudaraan antar satu individu dengan individu yang lain. Banyak di antara kita, termasuk sebagian besar anggota Sanggar Edi Peni Pacitan, melupakan sejenak aktivitas di sanggar, termasuk berlatih. Bulan Ramadhan dan perayaan Idul Fitri telah usai, saatnya bersiap untuk kembali menggeliatkan proses latihan.

Kegiatan latihan sangat penting dalam sebuah pementasan. Di bidang olahraga, latihan juga sangat diperlukan untuk berbagai kepentingan, misalnya menjaga kebugaran, mengasah skill maupun berlatih strategi yang akan diterapkan dalam pertandingan. Di bidang seni juga demikian, latihan berperan penting dalam meraih kesuksesan pementasan.

Practice makes perfect, demikian ungkapan yang dapat kita baca pada footnote salah satu buku tulis merk terkenal. Ungkapan tersebut jelas berdasar, sehingga dicetak ribuan kali dalam ribuan buku tulis yang telah diproduksi. Latihan adalah satu proses persiapan dalam sebuah pementasan. Persiapan lain mencakup penyiapan kostum, proses penciptaan karya, harmonisasi setiap bagian pementasan, dan lain-lain. Proses persiapan memang memakan waktu dan energi berpuluh-puluh kali lipat dibandingkan dengan pementasan. Bisa dianalogikan dengan proses pembelajaran di SMA misalnya, ujian dilakukan dalam empat hari, sedangkan persiapan dilakukan dalam jangka waktu tiga tahun. Ujian merupakan analogi dari sebuah pementasan. Sama halnya dalam pementasan sebuah tari, satu tari umumnya tidak lebih dari 10 menit, namun persiapannya bisa mencapai hitungan bulan.

Penari Sanggar Edi Peni sedang berlatih tari Wonocaki

Proses latihan memang merupakan suatu kunci kesuksesan sebuah pementasan, termasuk pementasan sebuah tari. Beberapa catatan berikut menjabarkan tentang pentingnya proses latihan:
(1)   Menjaga kebugaran
Sama halnya dalam bidang olahraga, dalam bidang seni, terutama seni tari, proses latihan merupakan sarana untuk menjaga agar tubuh tetap fit. Dengan proses latihan, tubuh akan terbiasa untuk melakukan gerakan-gerakan dengan teknik tertentu, sehingga tubuh akan akan tetap lentur dan lemah gemulai. Bagi para penari, tidak berlatih dalam tempo waktu yang lama justru akan membuat tubuh menjadi letih, karena awalnya tubuh di-push dengan rutinitas tertentu, namun jika tidak berlatih, rutinitas tersebut hilang, sehingga akan ada sesuatu yang hilang dari tubuhnya.

(2)   Mengasah teknik menari
Manfaat kedua ini merupakan sebuah kepastian. Sama halnya dengan mata pisau, semakin diasah, maka akan semakin tajam. Demikian pula dengan kemampuan dalam  mengolah dan menguasai teknik menari, semakin sering dilatih, maka kemampuan tersebut makin apik. Teknik dalam seni tari juga beragam, mulai dari basic hingga advance, dan setiap tingkatan memiliki standar latihan yang berbeda.

Para Pengrawit gamelan Sanggar Edi Peni dalam proses penggarapan tari Gadhung Mlathi
(3)   Memperhalus rasa
Menari merupakan sebuah kesatuan. Sebagaimana sajian nasi pecel yang terdiri dari banyak komponen, maka sebuah tarian yang komplit juga terdiri dari banyak komponen. Musik, kostum, tata rias, tata panggung hingga jenis penonton juga merupakan satu kesatuan yang harus diperhitungkan dalam menggapai kesuksesan pementasan sebuah tari. Semua komponen tersebut harus saling harmonis dan berada dalam porsi masing-masing yang pas sehingga mampu menyajikan sesuatu yang legit dan menggigit. Proses latihan membuat penari semakin merasakan keberadaan masing-masing komponen untuk saling mendukung satu sama lain.

(4)   Saling mengakrabkan diri dengan tim
Keakraban dapat terbangun dengan berbagai cara, salah satunya canda tawa saat berlatih. Keakraban ini merupakan sebuah bangunan yang mempersatukan semua individu agar berada dalam pijakan yang sama, sehingga merasa menjadi satu superteam yang hebat dalam menjalan sebuah misi.

(5)   Menambah percaya diri
Dengan memperhatikan seluruh fungsi sebelunya, tentu latihan dapat meningkatkan rasa percaya diri. Dalam latihan sudah barang tentu diadakan evaluasi, sehingga nantinya diharapkan seluruh komponen pementasan dapat bertugas dengan kondisi prima sehingga manpu memperikan yang tebaik bagi penonton.


Lima hal tersebut merupakan urgensi minimal dari sebuah proses latihan. Masih banyak hal yang dapat dieksplorasi dari proses berlatih tari, Anda sudah mendapatkannya? Mari berbagi... [PK]

Selasa, 21 Juli 2015

Tradisi Sungkeman


Ibu Adi Peni memberikan sungkem kepada sang suami, Bapak Edi Suwito

Idul Fitri merupakan satu dari dua hari raya umat muslim di seluruh penjuru dunia. Idul Fitri dirayakan pada tanggal 1 bulan Syawal, setelah melaksanakan serangkaian ibadah di bulan Ramadhan. Di Indonesia, Idul Fitri juga dikenal dengan istilah lebaran, sedangkan di masyarakat Jawa, Idul Fitri juga dikenal dengan istilah ba’da, bodo, dan riyaya atau riyadin.


Akulturasi budaya Islam dan Indonesia, maupun Jawa, nampak sangat khas dalam perayaan Idul Fitri. Banyak tradisi yang unik yang hanya di temuni di Indonesia, atau hanya di masyarakat Jawa, namun tidak ditemui di umat muslim dari belahan dunia yang lain. Sebut saja mudik, aktivitas kembali ke kampung halaman ini menjadi satu hal yang paling populer terjadi di Indonesia. Perputaran uang begitu cepat, transportasi begitu padat sehingga menyedot perhatian media masa untuk menjadikannya berita utama. Selain mudik, tradisi memakai baju baru dan menghidangkan makanan khas daerah menjadi tradisi lain yang tak bisa dilepas dari perayaan Idul Fitri.


Bagi masyarakat Jawa, Idul Fitri banyak dijadikan sebagai ajang silaturrahim antar anggota keluarga, sanak famili dan tetangga. Anggota keluarga dan masyarakat yang merantau akan kembali mudik ke kampung halaman dan menikmati hangatnya suasana keluarga. Mengenang kembali masa lalu, bercerita bersama kawan lama, atau sekedar menikmati objek wisata andalan yang berada tak jauh dari rumah.
Sungkeman, merupakan tradisi lain yang berkembang di masyarakat Jawa. Kata sungkeman berasal dari kata sungkem yang berarti duduk bersimpuh di depan seseorang untuk memberikan peghormatan. Sungkem tidak berarti menyembah, namun menunjukkan sikap penghormatan. Tradisi sungkeman tidak hanya berlangsung saat Idul Fitri, namun juga berlangsung saat rangkaian acara pernikahan. Sungkeman dilakukan oleh istri kepada suami, oleh anak kepada orang tua, atau dari anak muda kepada yang lebih tua.


Sungkeman dapat diartikan sebagai wujud bakti dari yang memberikan sungkem kepada seseorang yang menerima sungkem. Dalam tradisi Idul Fitri, sungkeman di masyarakat Jawa dilakukan sambil memberikan ucapan selamat Idul Fitri diikuti dengan permintaan maaf. Banyak versi ucapan yang diberikan saat tradisi sungkeman, misalnya,


Sugeng AriyadiKawula ngaturaken sedaya kalepatan, kawula nyuwun pangapura Terjemahan Bebas:
Selamat Hari Raya
Saya menghaturkan permintaan maaf atas segala kesalahan
 Umumnya, yang menerima sungkem juga akan menjawab dengan berbagai versi, misalnya,


Podho-podho,

Wong tuwo ugo okeh lupute, ayo podho dilebur ing dino Riyaya iki 

Terjemahan Bebas
Sama-sama,
Orang tua juga punya banyak salah, mari dilebur di Hari Raya ini


Sungkeman merupakan tradisi unik yang mungkin akan hilang suatu saat nanti. Sungkeman mungkin hanya akan menjadi cerita bagi generasi-generasi selanjutnya. Semua kemungkinan tersebut akan menjadi nyata atau hanya akan menjadi wacana belaka. Semua kemungkinan tersebut bergantung kepada kita, melestarikannya atau membiarkannya menghilang bersama pergeseran masa.
 Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriah,
Semoga kita dipertemukan dengan Ramadhan tahun-tahun berikutnya,
Taqobalallahu minna wa minkum,
 Mohon Maaf Lahir dan Batin... [PK]



Rabu, 15 Juli 2015

Tari Sekar Putri Manis: Persembahan Lorok untuk Upacara Ceprotan Donorojo

Tari Sekar Putri Manis Sanggar Edi Peni Pacitan

 Tari Sekar Putri Manis merupakan tarian yang diperagakan oleh sekelompok gadis cantik yang menari bersama-sama dengan penuh suka cita. Tarian ini menggambarkan kemolekan wajah wanita-wanita di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan. Senda gurau dan rutinitas keseharian wanita menjadi inspirasi lahirnya tarian ini.

Tari Sekar Putri Manis seakan menjadi kado dari masyarakat Lorok untuk upacara adat Ceprotan di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan pada tahun 1997. Pada tahun ini, upacara adat yang merupakan upacara bersih desa tolak bala ini mulai dijadikan sebagai daya tarik untuk memikat para wisatawan. Penambahan unsur tarian dan sentuhan artistik lain diharapkan mampu menambah nilai seni dengan tidak meninggalkan falsafah dasar dari pelaksanaan acara ini.

Penari Sekar Putri Manis setelah tampil dalam Pekan Budaya Jawa Timur 1997

Selain tampil di upacara adat Ceprotan, tari Sekar Putri Manis juga menjadi wakil Pacitan dalam ajang Pekan Budaya Jawa Timur 1997. Dalam even ini, Sekar Putri Manis mampu memikat juri dan diganjar dengan hasil kejuaraan masuk dalam jajaran 10 Kelompok Tari Terbaik. Daya tarik tari Sekar Putri Manis juga tersiar hingga Lamongan. Dalam kesempatan lain, Pemerintah Daerah Lamongan mengundang tim tari Sekar Putri Manis untuk tampil di pendopo kabupaten Lamongan.

Selain menggambarkan kecantikan wanita desa Sekar, tarian ini juga berlatar pada cerita rakyat yang berkembang di daerah Donorojo sebagai dasar pelaksanaan upacara adat Ceprotan. Upacara adat ceprotan merupakan sarana penjagaan bagi masyarakat dari penyakit, paceklik dan mara bahaya lainnya. Acara yang digelar pada Senin Kliwon bulan Longkang (Selo/Dzulqaidah) ini menggambarkan pertemuan antara Dewi Sekartaji dan Ki Godeg. Ki Godeg sendiri diyakini sebagai penyamaran Panji Asmarabangun.

Pertemuan Dewi Sekartaji dengan Ki Godeg bermula saat Dewi Sekartaji kehausan, sedangkan Ki Godeg baru saja melakukan babad alas wilayah tersebut. Donorojo yang merupakan daerah karst memberikan tantangan tersendiri dalam pemenuhan kebutuhan air. Karena kegigihannya, Ki Godeg akhirnya menemukan cengkir (kelapa muda) dan diberikannya kepada Dewi Sekartaji. Setelah dahaga yang melanda menghilang, Dewi Sekartaji menyiramkan sisa air kelapa ke tanah, dan berpesan kepada Ki Godeg agar kelak jika daerah tersebut dihuni dan dikembangkan masyarakat diberikan nama Sekar. Istilah ceprotan sendiri berasal dari kata cipratan (percikan) pada peristiwa saat Dewi Sekartaji menyiramkan air kelapa muda (cengkir) ke tanah.

Salah satu prosesi upacara adat Ceprotan (Foto: Pacitan Network)
Dalam prosesi acara Ceprotan, cengkir menjadi properti utama dengan didampingi sesajen, ingkung, ayam panggang, dan bunga setaman. Cengkir sering diartikan sebagai kencenging pikir yang memberikan pesan agar masyarakat lebih mengandalkan daya pikir dalam mengarungni kehidupan. Sesajen yang merupakan sarana mendekatkan diri pada Sang Pencipta mengajarkan nuansa religius. Ayam panggang dan ingkung melambangkan rejeki yang harus senantiasa diupayakan, sedangkan bunga setaman menunjukkan kebersihan dan wewangian dari setiap jalan yang harus ditempuh.

Selain nilai filosofis yang digambarkan dari setiap propertinya, kegigihan dan optimisme Ki Godeg menjadi hal lain yang layak dijadikan sebagai pesan moral dan panutan atas setiap usaha yang kita lakukan. Begitupun sikap suka menolong yang ditunjukkan Ki Godeg juga tak lepas untuk disoroti.


Nilai-nilai filosofis yag begitu dalam kembali disajikan oleh leluhur kita dalam suasana yang dikemas dalam sebuah upacara adat yang begitu menghibur. Semoga upacara adat Ceprotan menjadikan kita lebih kaya, baik dari segi budaya maupun segi nasihat untuk menjalani kehidupan. [PK]

Selasa, 14 Juli 2015

Maleman, Tradisi di Penghujung Ramadhan





Manusia tercipta bak mata uang logam yang memiliki dua sisi, sisi tersebut menghadap ke arah yang berbeda, memiliki gambar yang berbeda, namun saling mendukung dan mengukuhkan peran sebagai mata uang. Manusia pun demikian, dalam menjaga eksistensinya sebagai manusia, manusia diciptakan dengan dua sisi, sisi vertikal dan sisi horizontal.

Dalam menjalankan sisi vertikal, manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki keyakinan akan keberadaan Dzat Alfa-Omega, Tuhan Sang Mahakuasa. Pemenuhan terhadap sisi vertikal lahir dari ketaatan manusia kepada Tuhan atas dasar ajaran-ajaran agama yang diyakini masing-masing. Agama, aliran kepercayaan, dan sekte-sekte merupakan sarana untuk menyalurkan hasrat eksistensi manusia sebagai makhluk vertikal, di mana setiap hal yang dilakukan manusia akan dipertanggungjawabkan kepada Dzat yang lebih agung dari manusia. Dalam sisi ini, manusia memang ditempatkan dalam posisi hamba, berada di bawah titik Tuhan Sang Pencipta.

Pada sisi yang lain, manusia ditempatkan dalam sisi horizontal yang menyebabkan manusia berada pada posisi yang sama tinggi dengan manusia yang lain. Sisi horizontal juga menuntut manusia agar harus mempertahankan eksistensinya dalam menjaga hubungan baiknya dengan sesama manusia. Oleh karena itu, terciptalah agenda-agenda manusiawi semacam tenggang rasa dan gotong royong.

Ramadhan, bagi umat muslim disebut sebagai bulan suci yang penuh dengan keberkahan. Dalam bulan Ramadhan, umat muslim mendapatkan kesempatan emas untuk dapat mempertahankan eksistensinya, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, umat muslim dijanjikan pahala atas kebaikan-kebaikan dan begitu banyak pintu keberkahan yang terbuka dengan lebar. Sedangkan secara horizontal, manusia juga dituntut untuk senantiasa menjalankan kewajiban untuk hablu minnan nas (berbuat baik kepada sesama manusia).

Dalam penghujung Ramadhan, yang disebutkan sebagai bagian yang penuh kemenangan, umat muslim percaya akan anugrah lailatul qodar (malam yang mulia). Malam kemuliaan ini merupakan malam di mana keutamaannya lebih dari malam seribu bulan. Dapat dibayangkan jika satu kebaikan yang tertanam dipersamakan dengan konsistensi kebaikan yang dilakukan dalam jangka waktu seribu bulan. Hal inilah yang menyebabkan umat muslim saling berlomba dalam menggapai anugrah indah ini. Sesuai dengan tuntunan umat islam, lailatul qodar dipercaya akan dianugrahkan Tuhan Yang Maha Esa pada malam-malam ganjil di sepertiga Ramadhan terakhir, yaitu malam ke-21, malam ke-23, malam ke-25, malam ke-27 dan malam ke-29.

Maleman, merupakan tradisi yang berkembang di daerah Lorok, Pacitan yang dilakukan umat muslim di malam ganjil pada sepertiga Ramadhan terakhir. Dalam tradisi ini, umat muslim saling menyajikan makanan untuk diberikan ke sanak famili, kaum dhuafa, maupun jama’ah masjid. Tradisi ini dapat diartikan sebagai sarana manusia untuk menjaga eksistensinya, baik dari sisi vertikal maupun horizontal. Dalam sisi vertikal, tradisi maleman merupakan sarana manusia dalam melakukan kebaikan untuk berbagi kebahagiaan, sedangkan dalam sisi horizontal, maleman dapat dijadikan sebagai sarana untuk menjaga tali silaturrahim dan tali persaudaraan agar semakin erat dan hangat.

Maleman terkadang disebut sebagai malem sodaqohan di mana setiap muslim saling berlomba untuk memberikan sedekah yang diwujudkan dalam beberapa bungkus takir. Takir merupakan seperangkat menu makanan lengkap, minimal berisi nasi, sayur dan lauk, terkadang dilengkapi dengan buah dan minuman. Tak ada aturan khusus dalam menentukan menu sayur atau jenis lauk yang digunakan. Hal ini terikat dengan kemampuan dan keikhlasan masing-masing individu dalam upaya beribadah kepada Allah swt.

Meskipun tradisi malemam dalam prakteknya sudah mengalami pergeseran dan penyesuaian, namun tradisi ini masih terjaga dengan baik. Pergeseran tradisi maleman dapat dilihat dari cara pembagian dan kemasan takir. Dahulu, takir dibagikan ke tetangga-tetangga dan sanak saudara, namun kini, takir yang dibuat biasanya hanya dikumpulkan di masjid/mushola, kemudian dilakukan kembul boga setelah rangkaian ibadah shalat tarawih. Dalam segi kemasan, sudah terjadi modernisasi dalam teknik mengemas takir. Takir yang sebenarnya sudah sangat jarang ditemui, bahkan mungkin hanya sebuah cerita saja. Dahulu, takir dikenal luas dengan istilah sedan ijo. Takir dibungkus dengan daun pisang dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seperti mobil sedan, oleh kerena itulah takir juga disebut sebagai sedan ijo.

Takir sedan ijo yang dikemas dalam 'tempelangan'

Terkadang, takir tidak dikemas sebagai sedan ijo, namun ditempatkan pada semacam perahu yang terbuat dari daun pisang. Perahu daun pisang ini dibuat sebagaimana pincuk yang umumnya digunankan masyarkat Lorok, Pacitan untuk menikmati nasi pecel. Bedanya, pincuk hanya disimpul pada satu sisi, namun perahu takir disimpul pada kedua sisi.

Perahu takir

Baik kemasan sedan ijo maupun perahu takir sudah sangat langka di Lorok, Pacitan. Saat ini, umumnya takir dikemas dengan kotak stiroform yang banyak dijual di pasaran.


Takir  yang dikemas dalam stiroform

“Sudah jarang kita temui takir yang dikemas dalam bungkusan daun pisang ataupun kertas nasi coklat, umumnya dalam kotak putih demikian.”, Ujar Bapak Aziz, salah satu sesepuh di Mushola Al Amin, Desa Wiyoro, Kecamatan Ngadirojo, Pacitan. Beliau menambahkan bahwa apapun kemasannya, niat dalam menakukan maleman-lah yang harus diperhatikan dan dijaga. Tradisi maleman adalah tradisi bersedekah dengan tujuan utama untuk menambah ketakwaan manusia pada Sang Pencipta, Allah swt. [PK]

Senin, 13 Juli 2015

Tari Gambyong

Tari Gambyong Sanggar Edi Peni Pacitan

 Tari Gambyong merupakan tarian tradisional yang dikreasikan dengan gaya Surakarta. Tari gambyong diyakini berasal dari kesenian tayub yang berkembang di masyarakat Jawa. Konon, ada seorang penari taledhek/penari tayub bernama Gambyong pada zaman pemerintahan Paku Buwana IV Surakarta (1788-1820). Gambyong adalah penari mumpuni yang sangat mahir memainkan pola tubuh dalam kesenian tayub dan ditambah kemerduan suaranya, sehingga membuatnya menjadi pujaan penikmat tayub.

Tari gambyong dicirikan dengan gerakan indah mengikuti irama kendang. Gerakan jemari tangan yang begitu lentik menjadi gerak dominan dalam tarian ini. Pandangan mata si penari selalu menuju pada gerak tangan yang dilakukan. Gerakan-gerakan tersebut diselaraskan dengan gerak kaki, lengan, tubuh dan kepala. Gerakannya yang luwes dan kenes menggambarkan watak dan sikap dari seorang wanita Jawa.

Kendang yang menjadi nyawa dari pertunjukan tari gambyong juga didukung dengan instrumen penyusun gamelan lainnya, seperti kenong, gambang dan gong. Gendhing pangkur menjadi ciri khas lain dari tari gambyong, karena gendhing inilah yang selalu mengawali setiap penampilannya.

Penari gambyong didapuk dengan busana kemben dengan bahu terbuka. Busana yang dikenakan umumnya bernuansa hijau atau kuning, atau paduan dari keduanya. Warna ini menunjukkan kesuburan dan kemakmuran. Rias kepala dibuat sedemikian rupa seperti riasan konde klasik dengan hiasan reronce bunga melati.

Pada awalnya tari gambyong dipentaskan dalam ritual upacara pertanian dengan tujuan agar tanah tetap subur dan memberikan hasil pertanian yang melimpah untuk kemakmuran rakyat. Selanjutnya, tarian ini dijadikan sebagai hiburan bagi Paku Buwana dan dijadikan sebagai tari penyambutan tamu.

Sajian tari Gambyong telah banyak mengalami perkembangan, misalnya dalam hal penyajiaannya. Tari gambyong saat ini tidak hanya bisa ditampilkan di daerah keraton Surakarta, namun tarian ini sudah dipentaskan sebagai hiburan rakyat dan promosi budaya. Perkembangan ini dimulai dengan munculnya tari gambyong pareanom hasil kreasi Nyi Bei Mintoraras. Kemunculan jenis tari gambyong ini diikuti oleh munculnya jenis tari gambyong lainnya, misalnya gambyong sala minulya, gambyong ayun-ayun, gambyong pangkur, gambyong mudhtama, dan gambyong dewandau.

Tari Gambyong Pangkur Sanggar Edi Peni saat peresmian Balai Desa Hadiluwih

Selain pergeseran fungsi dan perkembangan jenis tari, busana yang dikenakan penari pun sudah tidak terpaku pada kebaya model dodotan. Perkembangan ini merupakan akulturasi dengan budaya pada masyarakat setempat, misalnya penggunaan penggunaan kebaya berlengan dan jilbab/kerudung bagi penarinya serta warna dominan yang dikenakan.

Sanggar Edi Peni Pacitan telah beberapa kali menampilkan tarian ini dengan sentuhan kreasi tersendiri. Dokumentasi foto yang didapatkan dari koleksi pribadi sanggar dan sumbangan dari para anggota dan alumni sanggar menunjukkan tarian klasik ini memang sempat hits meskipun banyak tarian kreasi ber-genre gaya baru.


Tari Gambyong Sanggar Edi Peni di SMPN 1 Ngadirojo
Tari gambyong juga diperkenalkan kepada para generasi muda dengan ditampilkan di acara pelepasan siswa kelas IX SMP Negeri 1 Ngadirojo tahun 2013 silam. Meskipun berada di wilayah administratif Jawa Timur, namun kedekatan letak geografis dengan wilayah Surakarta dan Yogyakarta membuat kesenian daerah Pacitan juga dipengaruhi oleh aroma seni dari daerah Mataraman ini. [PK]

Sabtu, 11 Juli 2015

AJISAKA: Tentang Sebuah Janji dan Kesetiaan



 Kisah Ajisaka merupakan cerita rakyat yang berkembang di pulau Jawa.  Ajisaka diceritakan sebagai ksatria sakti yang memiliki dua abdi setia, yakni Dora dan Sembada.  Kedua abdi ini begitu setia, dan kesetiaan merekalah yang selanjutnya melahirkan sebuah legenda yang tertuang dalam dua puluh aksara Jawa. Raja Raksasa, Prabu Dewatacengkar dikisahkan sebagai tokoh antagonis yang berkuasa di kerajaan Medang Kamulan.

Legenda lahirnya aksara Jawa ini dipentaskan dalam sebuah teater bertajuk “Dongeng Sebelum Tidur” oleh Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (KMP) Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM). Pementasan ini merupakan satu dari serangkaian acara Dies Natalis Fakultas Biologi UGM tahun 2013. Sanggar Edi Peni Pacitan berperan sebagai penata busana dalam pementasan ini.

Petikan lagu dari band Wayang berjudul “Dongeng Sebelum Tidur” menjadi prolog dalam pementasan, selanjutnya tokoh Anak yang hendak tidur. Sang Ibu datang dan setelahnya menuangkan kasih sayangnya dengan membacakan dongeng Ajisaka. Dongeng inilah yang selanjutnya divisualisasi menjadi drama apik dengan diselingi tarian dan nyanyian.

Adegan Ibu yang akan memberikan dongeng sebelum tidur kepada anaknya.

Ajisaka merupakan ksatria yang hidup di daerah Mejhati. Ajisaka memiliki dua orang abdi setia, yang bernama Dora dan Sembada. Keduanya merupakan murid yang sama-sama cerdas dalam menyerap ilmu yang diajarkan oleh Ajisaka, sehingga keduanya memiliki kesaktian yang sama.

Suatu ketika, Ajisaka mendengar tentang kelaliman Raja Raksasa Prabu Dewatacengkar di kerajaan Medang Kamulan. Raja raksasa ini meminta tumbal dari rakyatnya untuk dijadikan sebagai santapan. Ajisaka merasa tergerak untuk menghentikan kejahatan ini.

Dora, salah satu abdi Ajisaka, diminta untuk turut berangkat menuju Medang Kamulan untuk menghadapi Dewatacengkar. Sedangkan Sembada, abdi yang lain, diminta untuk tetap tinggal dengan tugas yang tak kalah berat. Sembada diminta oleh Ajisaka untuk menjaga keris pusaka yang dimiliki Ajisaka. Sebelum berangkat Ajisaka memberikan pesan kepada Sembada agar keris pusaka tersebut tidak diberikan kepada siapapun, kecuali jika Ajisaka sendiri.

Sesampai di kerajaan Medang Kamulan, Ajisaka berniat untuk menghadap Raja Dewatacengkar. Ajisaka menghadap sendirian, Dora diminta untuk berjaga di luar istana. Tentulah Ajisaka sudah memiliki sebuah rencana untuk mengalahkan Raja Raksasa yang terkenal bengis dan kejam itu.

Di hadapan Dewatacengkar, Ajisaka mengaku sebagai abdi yang hendak menyerahkan diri untuk dijadikan santapan Raja. Mendengar hal tersebut, sontak Dewatacengkar sangat senang karena rakyat makin sedikit yang memenuhi kriteria santapannya. Dewatacengkar selanjutnya menyuruh prajurit untuk memeriksa kelayakan Ajisaka sebagai tumbal.
Setelah dinyatakan layak, Dewatacengkar hendak memakan Ajisaka. Namun, Ajisaka meminta sesuatu sebagai permintaan terakhir kepada Dewatacengkar. Ajisaka menjelaskan bahwa Ajisaka meminta tanah di luar istana selebar sorban yang dipakai Ajisaka. Karena sudah begitu ingin melahap Ajisaka, Dewatacengkar langsung memenuhi permintaan tersebut.

Ajisaka dan Dewatacengkar menuju ke luar istana untuk mengukur tanah yang diminta Ajisaka. Ajisaka membuka sorban kepalanya dan memegangnya di salah satu sisi sorban. Dewatacengkar diminta untuk memegang sisi sorban yang lain. Tak disangka, ternyata sorban Ajisaka terus memanjang sampai akhirnya Dewatacengkar berada di pinggir laut. Dengan kesaktiannya, Ajisaka kemudian mengibaskan sorbannya sehingga menyebabkan Dewatacengkar tercebur ke laut. Konon, Dewatacengkar berubah menjadi seekor buaya putih.

Kematian Dewatacengkar disambut meriah oleh rakyat Medang Kamulan. Ajisaka yang telah mengalahkan Dewatacengkar ditunjuk untuk memimpin kerajaan, karena rakyat percaya Ajisaka akan berlaku adil dan selalu membela kebenaran.

Setelah menjadi Prabu, Ajisaka teringat akan Sembada dan keris pusaka yang ada di Mejhati. Prabu Ajisaka selanjutnya menyuruh Dora untuk mengambil keris tersebut dari tangan Sembada.
Sesampai di Mejhati, Dora bertemu dengan Sembada. Kisah pertemuan kedua saudara ini dituangkan dalam latar yang bahagia. Dora dan Sembada saling bernyanyi untuk sekedar menanyakan kabar.

Sembada      : “Bagya Sira ingkang nembe prapti,
                      Lawas ora katon, 
                      Menyang endi seprono seprene?
                      Paranto basuki Dora mitraningsun”
Dora             : “Kawruhana wiya kaget sireki
                       Sajrone wak ingong, mulan ndara…..
                       Wus antara suwe, sejatine praptaningsun kiyi
                       Kinen mundhut keris ingkang sira tunggu”
Sembada       : “Piye Dora apa sira lali? Welinge sang Katong
                       Wanti-wanti, tan kena angambil
                       Lamun dudu Gusti nira pribadi
                       Kang angambil keris rereksanku”

Sembada bertanya kepada Dora tentang kabar dan perjalanannya. Dora kemudian menjelaskan apa yang telah terjadi pada dirinya dan Ajisaka yang telah mengalahkan Dewatacengkar. Lalu, Dora menyampaikan pesan Ajisaka untuk mengambil keris pusaka yang ditunggu oleh Sembada. Namun Sembada tidak mau menyerahkan keris pusaka itu kepada Dora karena masih teringat akan pesan Ajisaka bahwa hanya kepada Ajisaka saja keris pusaka itu boleh diberikan. Keduanya masih saling bersikukuh dengan tugas masing-masing. Perkelahian antara keduanya tidak dapat dihindarkan, akhirnya keduanya mati.

Ajisaka merasa terlalu lama menunggu Dora, sehingga ia memutuskan untuk pergi ke Mejhati. Sesampainya di Mejhati, Ajisaka dikagetkan karena Dora dan Sembada sudah menjadi mayat. Ajisaka kemudian mengambil keris pusaka yang menjadi awal kematian kedua abdi setianya. Dia menuliskan kisah Dora dan Sembada pada sebuah batu dalam dua puluh aksara. Saat ini, ke-dua puluh aksara tersebut dikenal dengan nama Aksara Jawa.

ha na ca ra ka”        (ada utusan)
da ta sa wa la”        (saling berselisih)
pa dha ja ya nya”    (sama-sama sakti)
ma ga ba tha nga”   (keduanya mati)

Epilog drama "Dongeng Sebelum Tidur"

Banyak pelajaran dari kisah Ajisaka ini. Kesetiaan Dora dan Sembada akan amanah yang diberikan kepadanya patut dijadikan sebuah teladan. Amanah merupakan beban yang berada di pundak seseorang. Dora dan Sembada me jada amanah yang diberikan kepada keduanya bahkan dengan nyawa yang dimilikinya.

Kelalaian Ajisaka atas pesan yang diberikan kepada Sembada menjadi sebab awal kematian kedua abdi setianya. Setelah menjadi seorang raja, urusan yang dimiliki Ajisaka bertambah banyak, sehingga dia melalaikan pesan yang telah dia berikan kepada Sembada. Jika Ajisaka teringat pesannya pada Sembada, sudah pasti dia akan mengambil keris pusaka itu sendiri, sehingga kedua abdi setianya tidak akan terbunuh. Peristiwa ini memberikan pelajaran bagi kita akan konsekuensi atas janji yang telah diucapkan.


Pemain teater "Dongeng Sebelum Tidur" KMP Biologi UGM

Kisah Ajisaka mungkin hanya fiksi yang diyakini menjadi sebuah hal yang nyata di waktu silam. Namun, pelajaran yang terkandung dari kisah ini begitu nyata adanya. Semoga kita tidak hanya menjaga dan melestarikan Aksara Jawa sebagai kekayaan budaya, namun juga bisa meneladani pelajaran-pelajaran positif yang terkandung di dalamnya. [PK]