Senin, 24 Agustus 2015

Keistimewaan Bulan Selo (Dzulqo’dah)


Sistem Penanggalan Masehi yang dilengkapi dengan Penanggalan Hijriyah dan Jawa

Bulan Selo merupakan bulan kesebelas dalam penanggalan Jawa yang diciptakan pada masa pemerintahan Sultan Agung di Kerajaan Mataram Islam. Bulan selo dikenal juga dengan istilah bulan Longkang, sedangkan dalam penanggalan hijriyah dikenal dengan nama Dzulqo’dah (Dulkangidah, dalam pengucapan Jawa). Jika kita cermati kehidupan dalam bermasyarakat, khususnya dalam masyarakat Jawa, ada beberapa keunikan yang terjadi di bulan Selo ini. Bulan Selo adalah bulan terlarang bagi masyarakat Jawa untuk menggelar acara hajatan besar, baik untuk pernikahan ataupun khitanan. Umumnya, masyarakat Jawa menggunakan bulan Selo untuk melakukan acara bersih desa lengkap dengan sedekah bumi dan upacara adat lainnya.

Kata selo berarti batu yang berhubungan dengan lemah (tanah). Makna kata selo ini dihubungkan dengan nama lain dari bulan Dulkangidah dalam penanggalan Jawa Kuno. Pada penanggalan tersebut, penamaan musim kesebelas adalah Hapit Lemah, sehingga bulan Selo juga dikenal dengan bulan Apit. Makna kata selo yang berhubungan dengan tanah ini mungkin menjawab pertanyaan tentang alasan dilaksanakannya sedekah bumi pada bulan ini.

Bulan Selo dalam Kalender Jawa

Dalam tatanan bahasa Jawa, dikenal dengan istilah Kereta Basa, yang menungkinkan mengartikan makna sebuah kata dengan menguraikannya. Misalkan kata gedhang (pisang) dalam aturan Kereta Basa diartikan sebagai digeget bar madhang (dinikmati setelah makan). Contoh lain adalah kata gelas yang diartikan sebagai yen tugel ora bisa di las (jika patah tak dapat lagi di-las/disambungkan). Demikian juga dengan kata selo, kata ini juga memiliki makna dalam tata aturan kereta basa yang sangat berpengaruh dengan karakter bulan ini dalam masyarakat Jawa. Kata selo diartikan sebagai seselane olo atau kesesel barang olo. Kedua makna dalam kereta basa ini menunjukkan bahwa bulan Selo berkaitan dengan barang olo (kejelekan/keburukan). Makna ini selanjutnya dipercaya oleh masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga masyarakat Jawa tidak akan menunaikan hajat pada bulan yang dianggap penuh dengan hal-hal buruk.

Makna lain bulan Selo dapat dilihat dari nama asli bulan Selo dalam istilah Arab. Kalender Jawa merupakan adaptasi antara budaya Jawa dan budaya Islam, sehingga perlu ditelusuri makna kata selo dalam bahasa alinya. Sultan Agung mulai memberlakukan penanggalan Jawa pada tahun 1547 Saka (1035 Hijriah atau tahun 1625 Masehi). Bulan Selo dalam penanggalan Islam disebut bulan Dzulqo’dah. Dalam bahasa Arab, kata qo’idah berasal dari kata qo’ada yang berarti duduk. Makna kata qo’adah ini dikaitkan dengan perintah untuk duduk bersila dan memperbanyak dzikir pada bulan ini. Dimungkinkan ada penyalahtangkapan makna qo’adah dari sila menjadi selo.

Dalam sistem kalender Islam, Dzulqo’dah merupakan salah satu dari empat bulan yang disucikan di mana umat muslim tidak diperbolehkan perang pada bulan ini (QS. At-Taubah:36). Larangan akan dilakukan perang inilah yang mungkin digeneralisasi sebagai larangan untuk melakukan hajat baik pada bulan ini. Sebagian keterangan para ulama juga menghubungkan kemuliaan bulan Selo (Dzulqo’dah) dengan bulan untuk menapaktilasi semangat nabi Musa (QS Al A’raf:142), sehingga pada bulan ini umat muslim diperintahkan untuk merenung dan duduk bersila sembari membaca dzikir dan memanjatkan doa.

Bulan Selo dikenal pula dengan istilah Longkang. Kata longkang dalam bahasa Jawa diartikan sebagai gang sempit di antara dua rumah. Dahulu, masyarakat Jawa memegang teguh prinsip bahwa air hujan dari genting rumahnya harus jatuh di tanahnya sendiri, sehingga orang Jawa akan memberikan space kosong pada keempat sisi tanah yang dibangun rumah. Prinsip ini memberikan dampak nyata bahwa antara satu rumah dengan rumah tetangga terdekat tidak saling berhimpitan. Space terbuka antara kedua rumah inilah yang disebut sebagai longkoang. Jika dikaitkan dengan penanggalan Jawa, bulan Longkang merupakan bulan anatara dua hari raya. Bulan kesepuluh dalah penanggalan Jawa adalah Sawal (Syawal) yang di dalamnya terdapat hari raya Idul Fitri, sedangkan bulan kedua belas adalah bulan Besar (Dzulhijjah) yang di dalamnya terdapat hari raya Idul Adha. Jelaslah bahwa kata longkang berarti space waktu yang kosong tanpa adanya hari raya.

Space waktu kosong (longkang) di antara dua hari raya hendaknya digunakan secara maksimal oleh masyarakat Jawa. Leluhur Jawa mencontohkan acara bersih desa pada bulan ini. Acara bersih desa mulai ada dan berkembang sejak era anismisme dan dinamisme menjadi bagian dari kepercayaan masyarakat Jawa. Bersih desa dilakukan semata-mata untuk memberikan hak perhormatan kepada leluhur yang telah babad alas dan memberikan berkah melimpah pada desa tersebut. Pesan dari kegiatan bersih desa adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Sang Mahakuasa, bukan hanya kegiatan bersenang-senang yang banyak dilakukan pada bulan-bulan yang mengapitnya.

Pada era sekarang, beberapa daerah masih mempertahankan tradisi untuk melakukan bersih desa. Tradisi ini mulai terdapat pergeseran makna di dalamnya. Dahulu, bersih desa dimaksudkan untuk melakukan ritual pemujaan pada sosok yang mbahurekso tempat tersebut, namun saat ini bersih desa dilaksanakan sebagai aset budaya non benda. Pemujaan dilakukan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pelaksanaan bersih desa dilakukan sebagai sebuah upacara untuk menjada dan melestarikan budaya. [PK]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar