Selasa, 04 Agustus 2015

Keris, Sebuah Mahakarya Manusia [Bagian 2]


Dalam sebuah peradaban, kebudayaan merupakan hal yang ditinggalkan dan dapat dipelajari oleh peradaban selanjutnya. Kebudayaan adalah sebuah kekayaan abadi, ia akan tetap ada meskipun penciptanya telah tiada. Seorang antropolog Clifford Geertz mengungkapkan ada tiga unsur pembentuk kebudayaan, yaitu sistem simbol, sistem nilai dan sistem pengetahuan. Relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem makna yang dapat berfungsi sebagai pengejawantah simbol yang akhirnya dapat menjadi sebuah pijakan dari lahirnya sistem nilai dan sistem pengetahuan dalam sebuah kebudayaan secara utuh. Sehingga dapat dipahami bahwa setiap kebudayaan akan meninggalkan simbol-simbol kejayaan atas peradaban yang mereka bangun.

Keris adalah simbol kejayaan peradaban, seperti halnya hasil kebudayaan lain, seperti wayang dan reog ponorogo. Keris menjadi salah satu kebanggaan Indonesia, karena di sinilah keris mulai ada dan dicipta. UNESCO, sebuah badan PBB yang menangani pendidikan dan kebudayaan, akhirnya mengakui bahwa keris merupakan warisan budaya dunia milik Indonesia pada tahun 2005.

Saat ini, keris adalah sebuah bentuk eksistensi sebuah makna, bukan sekedar sebuah senjata atau benda. Sebagaimana rencong di tanah Aceh, atau tapis dari daratan Lampung. Keris menyimpan berbagai makna mendalam tentang kehidupan. Makna-makna tersebut dikandung dalam bentuk morfologi, ukiran atas keris dan warangka keris tersebut.

Keris sendiri telah dipercaya ada sejak abad ke-9, dengan dibuktikan adanya penemuan Prasasti Karangtengah (824 M) yang menyebutkan keris sebagai salah satu peralatan hidup pada masa itu. Selanjutnya, tahun 904 M dinyatakan keris merupakan bagian dari ritual sesaji dalam persembahan yang tertuang dalam Prasasti Poh. Saat ini, keris dapat dijumpai di hampir seluruh dataran tanah Melayu.

Manusia adalah makhluk yang dicipta untuk mau belajar. Hasil pembelajaran ini tertuang dalam setiap perkembangan kehidupan dan peradaban yang manusia ciptakan, termasuk halnya keris. Keris memiliki mengalami perkembangan, baik dari segi bentuk maupun makna yang terkandung di dalamnya. Keris modern dipercaya dimulai antara abad ke-12 dan ke-13, yaitu pada masa kerajaan Kediri-Singasari. Adalah Keris Pusaka Knaud, keris Buda atau keris Sombro yang berpamor sederhana banyak dianggap sebagai cikal bakal keris modern. Keris ini juga nampak pada relief Candi Penataran di Blitar.
Keris Pusaka Knaud (sumber: wikipedia)

Kebudayaan terkait keris berkembang pesat dari masa ke masa. Pada masa kerajaan Majapahit (abad ke-14) banyak dipercaya merupakan tonggak awal di mana keris memperoleh bentuknya yang modern. Relief yang digambarkan pada candi Sukuh menerangkan tentang seorang mpu yang sedang menempa besi dengan berlatar belakang keris. Namun seseungguhnya, pada abad ke-11 keris modern telah dikenal di Nusantara, tepatnya di kerajaan Sriwijaya, sebagaimana yang digambarkan dalam relief candi Bahal.

Pada sebuah naskah Sunda bertahun 1440 Saka (1518 M) disebutkan bahwa keris merupakan senjata dari para prabu. Prabu adalah sebutan bagi para raja dan para ksatria. Dalam naskah yang dikemukakan oleh Sanghyang Siksakandang Karesainpupuh XVII tersebut juga menggolongkan sistem persenjataan berdasarkan kasta sosial di mana para raja dan ksatria akan bersenjatakan keris, pamuk, peso teundeut, dan golok; sedangkan golongan petani adalah kaum yang bersenjatakan kujang, baliung, patik dan kored; terakhir golongan para pendeta memiliki senjata berupa kala katri, peso raut, pangot dan pakisi.

Keris semakin menunjukkan eksistensi sebagai senjata bagi kaum lelaki, terlebih bagi masyarakat Jawa. Tome Pires, seorang penjelajah berkebangsaan Portugis menerangkan dalam “Suma Oriental” bahwa pada abad ke-16, setiap laki-laki di Jawa, baik kaya maupun miskin, harus memliki sebilah keris di rumahnya. Lebih lanjut, Tome Pires menuliskan bahwa keris selalu diselipkan di punggung dan selalu dipakai oleh laki-laki yang berusia 12-80 tahun ke manapun mereka pergi. Penggunaan keris sebagai simbol maskulinitas semakin menguat dan meluas hingga abad ke-19.

Penggunaan keris mulai pudar pada abad ke-19 seiring penggunaan senjata api yang kian meluas. Peran keris mulai bergeser, demikian pula terkait idealisme Jawa “lelaki sempurna” yang mewajibkan membawa keris sebagai simbol pegangan ilmu dan bekal hidup. Saat ini, keris dianggap sebagai tosan aji, benda logam yang luhur. Keluhuran keris tercermin pada penghormatan yang diberikan kepada keris dan tosan aji lainnya, seperti tombak. Saat ini, keris digunakan sebagai pelengkap busana Jawa, misalnya pada acara pernikahan.

Bagaimanapun, keris adalah hasil budaya dari para leluhur yang wajib untuk terus dijaga dan dilestarikan.
Bersambung... [PK]

Sumber:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar