Kamis, 06 Agustus 2015

Keris, Sebuah Mahakarya Manusia [Bagian 4-habis]


Keris

Sejarah adalah bukti nyata akan perjalanan manusia, sehingga tidak salah jika ada pesan untuk tidak melupakan sejarah. Dari tulisan-tulisan yang tergoreskan oleh sejarah, generasi sekarang dapat melakukan evaluasi terkait apa yang dilakukan generasi terdahulu. Demikian pula bagi generasi mendatang, setiap generasi memang diharapkan mampu mengambil pelajaran dari kehidupan generasi sebelumnya. Hal-hal yang dirasa perlu untuk diperhatankan, harus dipertimbangkan benar terkait manfaatnya pada keharmonisan kehidupan pada zaman yang tak lagi sama. Hal-hal yang menyebabkan kehancuran generasi sebelumnya harus dicermati, sehingga hal-hal tersebut tidak menyebabkan kehancuran pada generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Sejarah merupakan cerita manis dan pahit kehidupan. Sejarah terangkum dari hal-hal besar hingga detail tentang sebuah kehidupan. Bagi masyarakat Jawa, keris tak dapat dipisahkan dari perjalan peradaban yang dibangun sejak zaman prasejarah. Keris hadir dan turut berkembang bersama peradaban. Bentuk, fungsi dan makna filosofis keris juga berkembang seiring perubahan pemahaman dan perkembangan ilmu pengetahuan masyarakat Jawa.

Keris menjadi bukti sejarah akan hal-hal yang terkadang ada di luar nalar manusia pada umumnya. Keris juga menjadi bukti perebutan kekuasaan pada kerajaan-kerajaan tertentu. Oleh karena begitu lekatnya keris dengan pola kehidupan manusia Jawa, saat ini pun masih banyak perdebatan atas keris dan segala hal yang melekat padanya.

Keris memang benda yang penuh filosofi, baik atas morfologi keris itu sendiri maupun cara penggunaan dari sebilah keris. Pada masa damai, keris umumnya diselipkan di pinggang, berbeda dengan pada masa perang, keris diselipkan di bagian depan tubuh yang menunjukkan sikap kesiapsiagaan atas apa yang akan terjadi pad perang tersebut. Pemilihan warangka yang digunakan pada masa damai dan perang juga berbeda. Pada masa damai, warangka ladrang banyak dipakai, sedangkan warangka gayaman yang lebih sederhana banyak digunakan pada masa perang karena alasan kepraktisannya.

Posisi Menggunakan Keris (Sumber: Tjokro Suharto)

Lebih lanjut, posisi pemakaian keris dapat digolongkan menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut (Tjokro Suharto):
1.      Klabang Pinipit
Merupakan posisi memakai keris yang benar di Yogyakarta. Di Surakarta, posisi penggunaan keris seperti ini disebut dengan “ngogleng”.  Pada pemakaian dengan posisi “klabng pinipit” ini, dikenal dua istilah lain, yatu “mangking” dan “netep”. Posisi “mangking” dirasa kurang pantas untuk dipraktekkan, posisi ini jika gandar berada di sebelah kiri tulang punggung. Sedangkan posisi “netep” adalah jika warangka menyentuh sabuk, posisi ini juga dirasa kurang pantas dipakai karena dianggap bermakna berani kepada siapapun.
2.      Ngewal
Posisi pemakaian keris ini banyak digunakan oleh prajurit yang bersenjatakan pedang dan para penari Klana Gagah gaya Yogyakarta.
3.      Satriya Keplayu
Posisi memakai keris ini dikenal juga dengan istilah “lele sinundukan”. Posisi ini dipraktekkan saat seseorang melakukan aktivitas yang membutuhkan banyak gerak, namun pemakaiannya dianggap kurang sopan karena terkesan akan mbalelo terhadap penguasa. Jika letak gandar keris berada di sebelah kanan tulang punggung disebut “ngogleng”, atau “ngongleng methit” di Surakarta.
4.      Munyuk Ngilo
Posisi ini dipakai oleh prajurit yang sedang bepergian atau berkelana. Selain itu, prajurit yang menggunakan bedhil sebagai senjata juga menggunakan posisi ini.
5.      Nganggar
Dipakau untuk bepergian dan para prajurit Daeng.
6.      Nyothe (A)
Dipakai saat naik kuda atau kendaraan.
7.      Nyothe (B)
Dipakai oleh para resi, ulama atau pendeta.

Keris memang bukan hanya senjata atau pusaka, keris merupakan simbol dari peradaban yang pernah tercipta. Untuk memahami sebuah keris, bukan hanya diperlukan ilmu pengetahuan belaka, namun juga diperlukan sense (rasa) yang peka. Simbol-simbol yang ditinggalkan oleh para leluhur Jawa bukan hanya akan dinikmati oleh generasi pada saat itu saja, namun akan dinikmati oleh anak-cucu di generasi kemudian. Orang tua di masyarakat Jawa selalu menanamkan kecintaan pada leluhurnya, karena mereka yakin bahwa kesuksesan yang diraih oleh sebuah generasi bukan hanya hasil kerja keras dari generasi itu saja, namun juga ada andil dari kerja dan upaya leluhur dari generasi sebelumnya.

Wong tuwa tapa, anak nampa, putu nemu, buyut katut, canggah kesrambah, mareng kegandeng, uthek-uthek gantung siwur misuwur.

Dari sebilah keris kita belajar pengetahuan. Dari sebilah keris kita lihat agungnya kebudayaan, dan dari sebilah keris kita belajar arti kehidupan. [PK]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar