Senin, 10 Agustus 2015

Langen Beksan di Lorok Pacitan



Sabtu (8/8/2015) Pemerintah Kecamatan Ngadirojo menggelar lomba langen beksan antar desa dalam rangkaian peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia. Acara langen beksan digelar di pendopo kecamatan yang sebelumnya dirangkaian dengan lomba tari antar SMA/SMK se-kecamatan Ngadirojo, kabupaten Pacitan. Dalam pidato sambutan, Bapak Camat Ngadirojo menyampaikan apresiasi warga Ngadirojo yang antusias menyaksikan acara ini dan berharap acara ini adalah sarana untuk menjaga dan melesatarikan budaya bangsa.

Langen beksan dikenal luas dengan istilah tayub. Tayub sendiri bagi sebagian masyarakat diartikan sebagai ditata supaya guyub (ditata agar rukun). Tayub merupakan kesenian Jawa yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menampilkan gerak tari mengikuti alunan lagu/langgam yang ditembangkan oleh sinden dengan diiringi oleh para pengrawit (penabuh gamelan). Langgam Jineman Uler Kambang sering digunkana sebagai gendhing pembuka dalam pagelaran tayub, selanjutnya akan dimainkan lagu-lagu Jawa klasik lainnya, seperti Sinom Parijothom Sinom Nyamat dan Pangkur Palaran.


Kesenian tayub banyak diselenggarakan sebagai sajian hiburan pada acara syukuran, pernikahan, khitanan ataupun acara bersih desa, misalnya dalam acara Jangkrik Genggong, yang merupakan acara adat masyarakat Tawang, desa Sidomulyo, kecamatan Ngadirojo. Dalam penyelenggaraan tayub, umumnya terdapat penari wanita yang dikenal dengan nama ledhek. Kata ledhek  dipercaya berasal dari kata lodhok yang berati lobang besar. Arti ini mengacu pada kebiasaan pada penyelenggaraan tayuban, ledhek menjadi sasaran eksplotasi kaum lelaki, entah hanya mencolek, mencium bahkan hal-hal lebih jauh dari sekedar seggolan dan ciuman. Kini, istilah ledhek banyak diganti dengan istilah larasati untuk menghilangkan citra negatif para penari wanita dalam acara tayub.

Tayub sendiri dipercaya merupakan induk dari tari Gambyong yang banyak ditarikan di istana keraton. Konon, ada seorang penari taledhek/penari tayub bernama Gambyong pada zaman pemerintahan Paku Buwana IV Surakarta (1788-1820). Gambyong adalah penari mumpuni yang sangat mahir memainkan pola tubuh dalah kesenian tayub, ditambah kemerduan suaranya. Saat ini banyak kreasi baru atas tarian Gambyong sejak lahirnya Gambyong Pareanom karya Nyai Bei Mintoraras.

Tayub adalah kesenian rakyat yang menyajikan kebersamaan dan kerukunan antar komponen masyarakat. Dalam penyelenggaraannya, tayub menggambarkan keakraban dari si tuan rumah dengan para undangan yang menunggu giliran mendapatkan sampur (selendang) dari para ledhek/larasati untuk menari bersama. Namun, dalam tayub sering diiringi dengan konsumsi minuman keras yang tentunya memperburuk citra tayub bagi sebagian masyarakat. Jika kita lebih jeli melihat, sebenarnya tayub hanyalah sebuah ekspresi bahagia yang lahir dalam gerak tari seiring dengan lagu yang berkumandang. Tayub juga sebuah sarana untuk ngleluri budaya yang telah lahir dari leluhur bangsa.

Ragam beksan sendiri sangat beragam. Beksan Sekar Medura adalah salah satunya. Beksan Sekar Medura ditarikan oleh empat penari putra yang gagah. Tari ini juga sering disebut Beksan Gundul atau Beksan Gendul. Kata gendul mengacu pada penggunaan gendul sebagai properti utama, selain sloki (gelas kecil). Properti gendul dan sloki ini menggambarkan kegembiraan warga Medura atas kemenangan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwana I) saat menghadapi VOC.

Ragam lain adalah Beksan Lawung Ageng yang menjadi salah satu sajian dalam upacara resepsi pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro di keratan Yogyakarta 23 Oktober silam. Beksan Lawung Ageng dibawakan oleh 16 penari pria. Ke-16 penari ini dikelompokkan menjadi dua penari Lawung Botoh, dua penari Salaotho, empat penari Lawung Lurah, empat penari Lawing Jajar dan empat pengampil. Menurut KRT Waseso Winoto, yang kala itu menjadi penanggung jawab pagelaran tari, menyebutkan bahwa Beksan Lawung Ageng merupakan tari klasik yang berupa ‘yasan’ dari Sri Sultan Hamengku Buwana I yang berkuasa tahun 1755-1792. Ragam lain adalah Beksan Trunajaya, Beksan Wira Pratama dan Langen Mandra Asmara. Masing-masing beksan memiliki ciri tertentu yang saling membedakan satu dengan yang lain.


Sebagai bagian dari warga sebuah bangsa yang berbudaya, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mengenal dan meletarikan budaya bangsa yang berakar dari budaya daerah yang adiluhung. Dengan mengenal budaya tersebut, diharapkan sense of belonging terhadap budaya makin kuat sehingga memicu rasa untuk terus mempelajari, mencintai, melestarikan dan akhirnya mengembangkan kebudayaan tersebut. Muara dari hal ini diharapkan agar kelak anak-cucu bangsa tidak hanya mengenal budaya hanya sekedar menjadi sejarah belaka, melainkan menjadi bagian hidup yang terus hidup dalam kehidupan sehari-hari. [PK]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar