Kamis, 20 Agustus 2015

Tujuhbelasan yang Dirindukan


Reog yang masih menjadi primadona

Peringatan tujuhbelasan tahun 2015 sudah berangsur usai. Setiap individu kembali dalam rutinitas awal, sekolah kembali aktif setelah sempat terbuai dalam perayaan. Tujuhbelasan memang selalu demikian, gegap gempitanya memaksa seluruh elemen masyarakat untuk ikut serta larut di dalamnya, tua muda, besar kecil, tak pandang usia dan status sosial. Seluruh elemen masyarakat bersatu untuk memeriahkan peringatan hari ulang tahun Republik Indonesia. Setiap daerah mempunyai cara masing-masing untuk menyambutnya dan setiap individu mempunyai peran masing-masing dalam memeriahkannya.

Kemeriahan agustusan terkadang menimbulkan kerinduan akan kampung halaman. Kebersamaan yang dulu sempat terjalin karena saling bahu membahu menyukseskan acara kembali terngiang dan terbuka dalam ingatan. Pun nanti, acara agustusan tahun 2015 akan menjadi kenangan yang akan kembali terbuka satu atau beberapa tahun yang akan datang.

Kemeriahan agustusan memang merupakan memori hangat yang pantas dikenang. Setiap individu saling berkompetisi dalam acara-acara yang dikemas apik oleh panitia. Setiap elemen masyarakat saling menunjukkan performa terbaik demi membela desa/instansi yang mengirimnya. Semangat inilah yang nampaknya mengobarkan kembali rasa patriotisme dan nasionalisme yang terkadang tergerus oleh arus  globalisasi yang kian deras terasa.

Kerinduan akan kemeriahan panggung dan stand expo yang senantiasa digelar di lapangan desa Ngadirojo adalah hal yang menjadi kebanggaan. Menengok kembali bagaimana setiap desa/instansi ingin menampilkan expo yang sangat merepresentasikan dirinya. Sebuah expo yang menjadikan citra dari desa atau lembaga yang membuatnya. Expo bukan hanya sebuah stand yang berdiri mengelilingi lapangan, namun lebih jauh, stand adalah pesan yang menunjukkan jati diri sebuah desa/instansi.

Expo PPHBN Kecamatan Ngadirojo tahun 2015

Lomba dan kegiatan eksibisi olahraga juga demikian. Otot dan otak saling disinergikan untuk menjadikan diri sebagai yang terbaik dalam ajang yang diadakan. Teknik dan strategi yang telah dipelajari dicoba untuk diterapkan di lapangan demi mentasbihkan diri menjadi yang terbaik. Lewat sepakbola, bola voli atau sekedar gerak jalan, setiap orang ingin menunjukkan daya eksistensi agar diakui menjadi kampiun dalam kompetisi.

Salah satu peserta lomba gerak jalan (Foto: Juhan)
Bidang seni juga tak kalah nyentrik. Tak hanya mempertandingkan dan menampilkan kesenian yang sudah dikenal masyarakat secara luas, seperti langen tayub, hadroh atau seni tari, terkadang panitia juga mempertandingkan atau menampilkan penampilan yang unik. Seperti yang ditampilkan oleh SDI Nurul Yaqin dalam pentas di panggung kemerdekaan. Sekelompok anak ini mencoba memainkan perkusi dari alat-alat yang bisa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, sebut saja galon air mineral dan tempat sampah. Bidang seni mencoba terus melestarikan budaya lewat kompetisi dan eksibisi yang ditampilkan. Reog misalnya, tarian asal kabupaten Ponorogo ini memnjadi salah satu primadona yang menyedot perhatian warga Ngadirojo. Bukan hanya tampilan, panitia juga mencoba mengenalkan dan menanamkan kecintaan warga Ngadirojo terhadap budaya yang ada.

Penari Jathilan dari Desa Ngadirojo
Perayaan bidang seni dan budaya memang sangat kentara dan patut menjadi alasan sebuah kerinduan. Dan kerinduan terkadang mengarahkan kita pada ingatan tentang masa kecil yang begitu gembira. Masa kecil yang penuh keceriaan juga dicoba ditampilkan dalam rangkaian perayaan. Adalah Senam Massal siswa PAUD-TK dari seluruh desa di kecamatan Ngadirojo. Senam yang menggunakan properti tempurung kelapa ini menjadi satu daya tarik tersendiri. Kepolosan anak-anak dicoba ditampilkan, selain show up kepada masyarakat, kegiatan seperti ini baik untuk melatih mentalitas anak-anak.

Senam Bathok ala TK-PAUD se-kecamatan Ngadirojo
Lalu, apakah agustusan selalu membuahkan rindu? [PK]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar